Abstract | Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law) sebagaimanadijamin Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, hak untuk memperoleh keadilan (access to justice) dalam proses peradilanadalah salah satu wujudnya. Selama ini, hak itu lebih dipunyai oleh mereka yang disebut âÂÂthe haveâÂÂ, sedangkanyang âÂÂthe have notâ terutama bagi korban kejahatan, seringkali terabaikan. Penelitian ini merupakan penelitianempiris tentang hukum sebagai law in action. Kedudukan korban dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) seringkaliterabaikan, meskipun secara formal sudah diwakili oleh negara. Apabila korban adalah rakyat miskin. Access tojustice bagi mereka sulit diperoleh, kondisi ini diperparah dengan pemahaman yang keliru bahwa pemberianbantuan hukum sebagaimana ditentukan dalam UU No. 16 Tahun 20011 tentang Bantuan Hukum âÂÂhanyaâ ditujukanpada pelaku kejahatan yang juga miskin. Oleh karena itu agar asas equality before the law dan access to justice bagikorban kejahatan yang miskin dapat diwujudkan, perlu dilakukan beberapa hal. Pertama, merekonstruksi kedudukankorban dalam SPP agar tidak terabaikan; kedua, memperbaiki pemahaman mengenai konsep bantuan hukum agartidak berat sebelah bagi pihak-pihak terkait; dan ketiga, pemenuhan hak-hak korban kejahatan oleh aparat penegakhukum, baik diminta atau tidak. Apabila hal tersebut dilakukan, makan jaminan konstituti bukan lagi sebagai mitos.Kata kunci: equality before the law, access to justice, bantuan hukum, rakyat miskin, peradilan pidana |