Abstract | Tingginya angka insidensi kasus TB setiap tahun dan angka kematian akibat TB masih menjadi beban di Indonesia. Beban tersebut kini telah bertambah dengan adanya TB Resisten Obat (TB-RO). TB-RO adalah penyakit tuberkulosis yang mengalami resistensi terhadap dua obat paling paten pada lini pertama seperti isoniazid dan rifampisin dan umumnya terjadi akibat pengobatan TB yang tidak tuntas (Asri, 2014). Pengobatan yang tidak tuntas tersebut menyebabkan berkurangnya efektifitas obat di dalam tubuh dalam membunuh bakteri tuberkulosis akibat mutasi pada gen dan RNA yang berujung pada resistensi (Soepandi, 2010). Peningkatan beban TB-RO terjadi karena belum optimalnya pelaksanaan program pengendalian TB yang ada, kurangnya keterlibatan lintas program dan lintas sektor dan kurangnya penatalaksanaan kasus TB di fasilitas pelayanan kesehatan seperti penemuan kasus; pencatatan dan pelaporan kasus. Beban TB-RO ini akan mengakibatkan kerugian yang cukup besar jika tidak dapat ditanggulangi dengan baik, seperti meningkatnya pembiayaan TB, meningkatnya jumlah pengangguran dan meningkatkan risiko adanya kejadian TB-HIV. Upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi peningkatan beban TB-RO tersebut salah satunya dengan melakukan perubahan dalam penemuan kasus dan pencatatan kasus (Permenkes, 2016). Perubahan penemuan dan pencatatan kasus dari yang bersifat pasif kini menjadi aktif, intensif dan masif tanpa mengesampingkan kegiatan penemuan dan pencatatan kasus secara pasif. Penemuan dan pencatatan kasus tersebut akan dilaksanakan melalui kegiatan surveilans TB (Dinkes Banyumas, 2017). Pada Tahun 2017 Triwulan II di Kabupaten Banyumas untuk kasus TB-RO terdapat 225 kasus terduga, 19 kasus terdiagnosis, 16 kasus diobati dan 2 kasus meninggal (Dinkes Banyumas, 2017). Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan ditemukan bahwa 37 dari 39 Puskesmas yang ada di Kabupaten Banyumas memiliki kasus TB-RO. Hal ini berarti Puskesmas di Kabupaten Banyumas harus memiliki kesiapan sistem surveilans yang baik dalam menghadapi tantangan dari munculnya beban TB-RO tersebut. Kegiatan surveilans TB yang telah matang akan dilakukan dengan sistem yang baik dan akan menghasilkan informasi yang baik pula untuk mendukung keberlangsungan upaya pengendalian TB-RO. Kesiapan yang dimaksud bukan hanya pada sistem secara menyeluruh tetapi juga harus spesifik ke dalam subsistem surveilans seperti input, process dan output. Komponen yang termasuk dalam subsistem input seperti sumber daya manusia (SDM), dana, metode pencatatan dan pelaporan serta sarana, sedangkan untuk subsistem proses yaitu frekuensi pengumpulan data, pengolahan data dan analisa data. Komponen dari subsistem output berupa pelaporan ke instansi yang lebih tinggi, diseminasi informasi serta umpan balik yang dapat dilihat dari adanya buletin kasus serta mading informasi (Ersanti dkk, 2016). Penelitian yang dilakukan oleh Kant, et al (2013) menyebutkan bahwa perbaikan sistem surveilans mulai dari pengumpulan data secara lengkap hingga pengolahan data yang tepat dapat menunjung kegiatan penanggulangan tuberkulosis dan efektif menekan peningkatan kematian akibat penyakit tersebut di India. Penelitian ini bertujuan untuk melihat dan mendekripsikan kesiapan sistem surveilans TB di Puskesmas Wilayah Kerja Kabupaten Banyumas dalam mendukung upaya pengendalian TB-RO. |